0

UI Banyak Pohon Juga Limbah Air

Universitas Indonesia (UI) menduduki urutan ke-15 sebagai kampus terhijau di dunia versi UI GreenMetric World University Ranking 2010. Akan tetapi, keenam situ (danau buatan) di UI masih menjadi pembuangan limbah perumahan sekitarnya. Lantas, masih pantaskah UI menyandang gelar Green Campus?

Pada 16 Desember 2010 lalu, UI meluncurkan daftar pemeringkatan kampus terhijau di dunia. UI menamakan pemeringkatan ini UI GreenMetric World University Ranking. Sebanyak 95 universitas dari 35 negara mengikuti kompetisi rangking tersebut dan 22 diantaranya adalah perguruan tinggi di Indonesia.

Menurut Kepala Kantor Komunikasi UI Vishnyu Juwono, pemeringkatan ini berdasarkan kelestarian hidup di lingkungan kampus. Kehijauan kampus, pemanfaatan ruang, efisiensi energi, penggunaan air, pengolahan limbah, dan sistem transportasi ramah lingkungan menjadi kriteria penilaiannya.

Hasilnya, universitas di Amerika mendominasi sepuluh peringkat teratas. Gelar perguruan tinggi terhijau diraih Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Ada pun UI sendiri meraih peringkat ke-15. Terlebih lagi UI merupakan satu-satunya universitas di Indonesia yang meraih posisi 15 besar.

Untuk menjadi universitas terhijau, UI menjadikan kampus Depok sebagai lahan penghijauan andalannya. Dari sekitar 320 ha luas lahan kampus Depok, 75% merupakan area hijau berwujud hutan kota. Selain itu, UI juga memiliki enam situ (danau buatan). Keenam situ tersebut adalah Situ Kenanga, Situ Aghatis, situ Mahoni, Situ Puspa, Situ Ulin, dan Situ Salam.

Pembangunan situ-situ tersebut dimaksudkan sebagai daerah resapan air. Tapi yang terlihat, kondisinya jauh dari fungsi resapan air dan memprihatinkan. Situ Aghatis yang terletak di antara Politeknik Negeri Jakarta dan lapangan Hockey UI terbengkalai. Air situ tersebut berwarna hijau pekat dan berbau amis. Tumbuhan air pun berkembang tak terkendali. Situ Mahoni yang diapit Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Fakultas Teknik (FT), dan Fakultas Ekonomi (FE) juga mengalami kondisi serupa. Ditambah lagi, banyak busa muncul di pinggir situ tersebut. Menurut Dr. rer. nat. Yasman S.Si., M.Sc., dosen Departemen Biologi UI, situ tersebut merupakan pembuangan limbah rumah tangga Kelurahan Kukusan, perumahan warga terdekat. Situ terparah adalah Situ Kenanga yang terletak di antara Balairung UI, Rektorat UI, dan Masjid Ukhuwah Islamiyah. Banyak sampah yang menggenangi situ tersebut. Meski UI telah mengerahkan petugas kebersihan untuk membersihkan situ tersebut beberapa hari sekali, sampah tetap saja setia menggenangi. Banjir yang sering melanda UI juga merupakan bukti bahwa fungsi situ-situ UI sebagai daerah resapan air tidak maksimal.

Situ-situ UI juga memiliki banyak fungsi ‘sampingan’. Situ Salam sering dijadikan lokasi lomba perahu naga. Fungsi lainnya, mahasiswa UI memanfaatkan situ Aghatis sebagai laboratorium alam. Mereka melakukan pengambilan sampel air dan tumbuhan air untuk diteliti. Fungsi situ UI yang paling terkenal adalah pusat rekreasi warga. Setiap sore, banyak warga sekitar UI yang berpiknik, sekedar refreshing, atau memancing terutama di sekitar situ Kenanga. Banyaknya warga yang membuang sampah sembarangan dan kurang tersedianya tempat sampah menjadi alasan menumpuknya sampah di situ tersebut.

Situ-situ UI memerlukan penanganan lebih agar fungsi resapan air dapat maksimal. Hal ini dapat dicapai dengan ketegasan dan kebijakan UI serta keikutsertaan warga. Situ-situ UI sebaiknya tidak dijadikan tempat pembuangan limbah air kampus maupun perumahan warga. Menjaga dan melestarikan air dan lingkungan UI menjadi tanggung jawab bersama. UI bukanlah milik perseorangan, melainkan milik warga Indonesia. Rektor UI tahun 2002-2007, Prof.dr.Usman Chatib Warsa, SpMK, Ph.D, pernah berkata, “Membangun UI sama dengan membangun Indonesia.”

Note: Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan saya mengenai Situ di UI yang kurang terawat. Tulisan ini juga merupakan hasil learning by doing di workshop penulisan ilmiah populer dari DANONE AQUA yang bekerja sama dengan MAPIPTEK

1

Zeolit, si Penghemat Pupuk

Jangan remehkan batu-batuan di sekitar kita. Zeolit, batuan yang banyak terdapat di Tasikmalaya dan sekitarnya, Jawa Barat, ternyata kaya manfaat. Salah satunya sebagai penghemat pupuk.

Pemborosan pemakaian pupuk masih menjadi masalah klasik petani Indonesia. Sebagai contoh, satu hektar (ha) tanaman padi sebenarnya hanya membutuhkan 250 kg pupuk. Tetapi rata-rata petani memakai 300 kg pupuk per ha tanaman padi. Alasannya, mereka meragukan kemanjuran dari pupuk tersebut.

Secara ilmiah, kita dapat menyetujui keraguan para petani itu. Pupuk mengandung unsur hara seperti Nitrat (NO3) dan Phospat (PO43-) yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Sayangnya, kedua unsur hara tersebut mudah terlepas dari pupuk karena mudah terbawa air. Hal inilah yang menyebabkan tanaman kurang subur dan akhirnya memboroskan pemakaian pupuk.

Untuk menghemat pemakaian pupuk, bidang ilmu kimia permukaan menawarkan solusinya. Dengan dukungan ilmu geologi, bidang ini memanfaatkan batuan zeolit sebagai primadona. Zeolit adalah batuan Alumina Silika berpori yang mengandung banyak mineral seperti Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na), dan Kalium (K). Di Indonesia, empat kabupaten di Jawa Barat terkenal akan kelimpahan zeolitnya, yaitu Kabupaten Bogor, Ciamis, Tasikmalaya, dan Sukabumi.

 

Berdasarkan penelitian para kimiawan dan ahli geologi, zeolit dapat menyerap nitrat dan phospat. Mereka melakukan berbagai cara untuk memodifikasi zeolit. Salah satunya dengan cara memodifikasi sifat kimianya. Dengan penelitian ini, mereka berharap nitrat dan phosphat pada pupuk tidak mudah hilang terbawa air.

Pada tahun 2010, mahasiswa Kimia Universitas Indonesia (UI) telah melakukan penelitian untuk memodifikasi zeolit. Mereka melapisi zeolit dengan suatu polimer bermuatan positif (polikation), yaitu PDDA (Poli Dialil Dimetil Ammonium Klorida). Muatan positif dari polikation ini mampu menarik phospat yang bermuatan negatif. Akibatnya, zeolit dapat menyerap phospat dengan mudah. Para mahasiswa berencana melanjutkan penelitian ini untuk pengujian terhadap nitrat. Jika hasilnya memuaskan, mereka berharap dapat bekerjasama dengan penambang zeolit dan produsen pupuk guna pengembangan produk lebih lanjut.

Penggunaan zeolit untuk menghemat pupuk sangat mudah. Menurut DR.Astiana Sastiono, staf pengajar di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, kita dapat mencampurkan zeolit dengan pupuk atau langsung ditaburkan ke tanah. Selain itu, zeolit yang dibutuhkan juga sedikit. Berdasarkan penelitian, 100 gram zeolit dapat menyimpan 19,306 gram pupuk amonium sulfat (ZA)1.

Zeolit sebagai penghemat pupuk memberikan manfaat yang beruntun. Pupuk yang digunakan sedikit namun unsur hara yang dikandungnya banyak. Lahan yang digunakan pun semakin subur. Hasil produksi akhirnya menjadi lebih banyak dan berkualitas. Dari segi lingkungan, pencemaran air karena nitrat dan phospat juga dapat berkurang.

Selayaknya pemanfaatan zeolit ini dapat dimaksimalkan. Dengan kerjasama pemerintah, pengusaha, dan ilmuwan, Indonesia dapat memanfaatkan kekayaan mineral ini. Tak tanggung-tanggung, peningkatan kesejahteraan ekonomi, pertanian, dan lingkungan Indonesia dapat kita hasilkan sekaligus.

Referensi

1Lenny M. Estiaty, Zeolit Alam Cikancra Tasikmalaya: Media Penyimpanan Ion Amonium dari Pupuk Amonium Sulfat.( Bandung: Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2007),hlm. 239-244.

Eddy, Herry R. “Potensi dan Pemanfaatan Zeolit di Jawa Barat dan Banten”. http://www.dim.esdm.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=493&Itemid=395. (27 Februari 2011)

Berita Ilmiah. “Indonesia Belum Serius Manfaatkan Zeolit”. http://www.kamusilmiah.com/kimia/indonesia-belum-serius-memanfaatkan-zeolit/. (27 Februari 2011)

Yolani, Deagita, et al. Modifikasi Zeolit Alam Klinoptilolit oleh Polikation sebagai Slow Release Fertilizer (SRF) untuk Phospat. Depok: Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian, Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2010.