1

Melawan Lupa (Bahwa Dulunya Anak-anak)

Na Willa, nama gadis kecil itu. Ia menerjunkanku dalam dunianya. Dunia anak-anak yang polos, penuh rasa ingin tahu, dan apa adanya. Saya sungguh bahagia menyelami dunianya!

Na Willa menunjukkan bahwa anak-anak mudah bahagia, bahkan untuk hal yang remeh. Tapi juga tak selalu indah, jadi anak-anak pun ada sulitnya. Melempar tantrum karena kemauan tak selalu terpenuhi, tak tahan ingin melanggar larangan orang tua karena rasa penasaran yang membuncah, atau kesal karena direndahkan orang.

Memoar masa kecil pun meletup-letup, betapa akrabnya saya dulu dengan kejadian-kejadian yang dialami atau pikiran yang dimiliki Na Willa. Saya jadi ingat, saking polosnya saya waktu kecil, saya menangis saat melihat foto-foto pernikahan orang tua saya karena tidak ada saya di dalamnya. Saya kesal tidak diajak foto. Sama seperti Na Willa yang menginginkan ikan bandeng yang punya banyak mata karena dia suka makan mata bandeng. Aduh, anak-anak polos ya, tapi tidak bodoh, lho.

Na Willa memang “hanya” bercerita tentang dirinya, keluarga, teman-temannya, dan lingkungannya. Tapi cerita yang memang diambil dari sudut pandang Na Willa ini dikemas dengan apik oleh Reda Gaudiamo dalam dua seri novel. Seri pertamanya berjudul Na Willa, bersampul warna merah, dan seri keduanya berjudul Na Willa dan Rumah dalam Gang yang bersampul hijau. Ilustrasi hitam-putih oleh Cecilia Hidayat dalam buku ini menambah kesan oldies, tapi unyu sekali. Meskipun Na Willa kecil berada di era saat radio gencar memutar lagu Lilis Suryani (hayo, tahun berapa? Mungkin tahun ayah-ibumu kecil dulu?), tapi pikiran, keluguan, dan kedegilan anak-anak itu masih persis seperti anak-anak era tahun ’90an, di masa kecil saya berada. Mudah-mudahan anak zaman sekarang pun masih punya ke-anak-anak-an yang sama.

 

Saya tak mau banyak mengungkap ada cerita apa saja di buku ini karena saya tidak mau jadi spoiler. Sudah cukup banyak ulasan tentang buku ini yang mencipratkan sebagian isinya, dan itu mengurangi kenikmatan membaca. Jadi saya sarankan jangan seperti saya yang banyak membaca ulasan tentang buku ini, ya. Oh ya, saya suka dengan karakter Mak, ibunya Na Willa. Mungkin marah-marah dan cubitannya untuk Na Willa bukan panutan, tapi dia adalah ibu yang menyenangkan. Saya ingin juga jadi ibu yang menyenangkan sepertinya, bahkan lebih! Oh ya, dan lagi….saya suka dengan kata pengantar dari penulis dan surat dari penerbit di akhir buku. Sungguh personal sekali!

Saya bersyukur membaca dua seri novel anak karya Reda Gaudiamo ini meski agak terlambat karena gembar-gembornya sudah lewat. Di saat saya sedang jenuh menggali buku parenting yang berisi how and what to do untuk orang tua, saya justru senang lebih memahami anak-anak lewat kedua novel ini. Novel ini saya rekomendasikan untuk anak-anak (kalau dia suka baca buku mungkin dari usia 7 tahun), dan juga orang tua yang ingin bernostalgia dan kembali akrab dengan dunia anak. Bagi saya, kedua novel ini sangat manjur sebagai book to read during tough times in parenthood. Sebab, seiring jadi dewasa, saya sering lupa rasanya jadinya anak-anak. Padahal, berhadapan dengan anak kadang tidak bisa hanya dengan memakai kacamata orang tua saja, tapi juga kacamata anak. Benar lah pasti ada alasan di balik kedegilan dan kenakalan anak-anak, mungkin dipicu rasa ingin tahu atau untuk kesenangan semata. Jadi ya, rileks jeung, namanya juga anak-anak, mereka juga ingin mengerti tentang dunia ini, kok. Duh, jadi tidak sabar menunggu seri ketiganya terbit. Meski mungkin terbitnya besok, besok, atau besoknya lagi, ku kan menunggu!

Detail buku
Judul: Na Willa (buku ke-1, cetakan ke-3 pada September 2019), Na Willa dan Rumah dalam Gang (buku ke-2, cetakan ke-2 pada September 2019)
Penulis: Reda Gaudiamo
Ilustrator: Cecilia Hidayat
Penerbit: POST Press

#Writober #RBMIpJakarta #IbuProfesionalJakarta #InstitutIbuProfesional #Writober9 #Lupa #WritoberLupa #ResensiBuku #ReviewBuku #UlasanBuku #NaWilla

4

Resensi Buku: Mata di Tanah Melus

Novel Mata di Tanah Melus karya Okky Madasari

Judul Buku: Mata di Tanah Melus

Penulis : Okky Madasari

Jumlah Halaman: 192

Tanggal Terbit: 22 Jan 2018

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Jenis Buku/Genre: Novel anak/petualangan

Dibaca melalui: aplikasi ipusnas (portal peminjaman buku digital tak berbayar milik Perpustakaan Nasional RI)

 

Novel ini adalah novel pertama setelah sekian lama saya tidak membaca novel. Tentu saya butuh novel ringan untuk membangkitkan kembali gairah membaca. Meluncur sebentar mengarungi aplikasi ipusnas, terpilihlah novel anak karya Okky Madasari ini. Mata di Tanah Melus merupakan seri pertama petualangan seorang anak perempuan bernama Matara (dipanggil Mata).

Petualangan Mata berawal dari ajakan sang mama untuk berlibur ke daerah Belu, NTT. Belu memang bukanlah tempat liburan seperti Bali atau Lombok. Di daerah terpencil nan hijau itu, kesialan demi kesialan malah menimpa Mata dan Mama sejak hari pertama.

Dalam usahanya menepis kesialan dengan bimbingan penduduk setempat, Mata terpisah dari mamanya dan tertawan oleh suku Melus. Suku Melus ini digambarkan sebagai suku terasing yang tidak tahu Indonesia itu apa, tapi memiliki kepandaian bahasa dengan bermodalkan sekali dengar. Mereka mempertahankan diri dan pusakanya dari kepunahan hingga bersembunyi dari para pemburunya.

Dengan ditemani sahabat baru dari suku Melus bernama Atok, Mata berusaha kabur dari tanah Melus dan mencari mama. Perjuangan melarikan diri ini pun penuh halang rintang. Mata dan Atok harus beradu dengan ratu kupu-kupu, dewa buaya, dan lain-lain. Akankah Mata berhasil menemukan Mama dan pulang ke tempat asalnya?

Banyak yang berpendapat kalau buku ini seperti Alice in Wonderland rasa lokal, dan mau tidak mau saya setuju. Nama-nama Dewa dan makhluk magis di dalam kisah ini semua bercita rasa lokal.

Saya suka bagaimana Okky menggambarkan pikiran anak-anak tentang orang tua, yang sejatinya adalah sentilan bagi orang tua. Okky pun berhasil menyelipkan kritik untuk pendidikan di sekolah negeri yang cenderung konservatif. Ya, Mata senang dipindahkan mamanya dari sekolah negeri ke sekolah swasta. Katanya, tidak ada PR yang menyita waktu bermain, guru yang menghukum kalau tidak bisa menghafal pelajaran, dan cerita menakutkan tentang neraka dan siksa kubur di sekolah barunya.

Namun, akhir cerita novel ini janggal bagi saya karena terasa serba cepat dan kurang menggugah. Mungkin rasanya seperti tiba-tiba ada peri baik yang datang dan menyelesaikan semuanya. Ilustrasinya pun kurang banyak dan bernuansa gelap. Tapi untuk novel anak usia 9-13 tahun yang jarang dilirik pasar, novel ini cukup saya rekomendasikan karena bernuansa nusantara. Hal tersebut menjadikannya berbeda dari novel lain sejenis yang bernuansa Jepang atau Barat yang kemungkinan lebih besar diminati anak pra-remaja. Orang dewasa pun sangat bisa menikmati sajian novel ini, terlebih seperti yang ingin membangkitkan gairah membaca seperti saya. Saya pun tak sabar untuk membaca seri petualangan Mata berikutnya.

#Writober #Writober3 #WritoberMata #TemaMata #RBMIpJakarta #Ibuprofesionaljakarta #resensibuku #resensinovel #resensinovelanak #mataditanahmelus #resensimataditanahmelus #reviewmaditanahmelus