Pertolongan Pertama pada Sakit Hati, Memang Ada?

Setiap 40 detik, di dunia ini terhitung satu orang merenggut nyawanya sendiri. Mungkin karena dunia ini menakutkan bagi mereka, atau mereka yang takut hidup. Nyatanya, hal ini terjadi akibat depresi atau gangguan kesehatan mental yang telah menjangkiti banyak penduduk dunia. Belakangan saya baru tahu, bahwa hari kelahiran saya, 10 Oktober, telah dijadikan “Hari Kesehatan Jiwa Dunia” oleh WHO. Baru-baru ini kampanye “40 Second of Action” juga digaungkan, di mana kita bisa memberi dukungan pada penderita gangguan mental dengan aksi nyata atau hal apa pun yang kita bisa. Mungkin saya tidak bisa membuat aksi nyata, tapi saya bisa berbagi dalam tulisan ini agar bersama-sama kita mulai memperhatikan kesehatan mental kita.

Berawal dari rasa penasaran, kalau kecelakaan fisik ada pertolongan pertamanya, apakah hal yang sama juga ada untuk sakit hati atau mental? Alhamdulillah, ternyata ada!

Ilmu tentang pertolongan pertama pada sakit psikologis ini saya dapatkan dari presentasi Dr. Guy Winch pada acara Ted Talks di bawah ini. Mari kita tonton bersama di kanal berikut.

 

Baik, izinkan saya merangkum presentasi tersebut. Agar nantinya benar-benar bisa saya ingat dan amalkan dalam kehidupan. Semoga.

Sangat disayangkan umumnya kita lebih memperhatikan kesehatan tubuh atau fisik daripada kesehatan mental atau emosi. Kita mengajarkan anak bagaimana menyikat gigi dan memperhatikan kesehatan tubuhnya. Tapi, apa yang kita ajarkan pada anak tentang kesehatan psikologis? Mungkin tidak ada. Padahal, kita mungkin mengalami luka psikologis jauh lebih sering daripada luka fisik – luka karena kegagalan, penolakan, atau pun rasa kesepian. Meskipun ada cara yang terbukti ilmiah bisa mengobati luka psikologis tersebut, kita tidak mengobatinya. Bahayanya, luka psikologis jika dibiarkan akan berdampak dramatis untuk kehidupan kita. Kita menganggap luka itu seperti hal sepele dan tak perlu mengobatinya. Kita mungkin pernah berkata pada orang, “oh, kau merasa frustasi? Lupakan saja! Toh semua hanya ada di pikiranmu”. Padahal itu sama seperti kita bicara pada orang yang mengalami patah kaki, “oh, dibawa jalan saja. Toh itu semua hanya ada di kakimu.”

Jadi, inilah saatnya kita menempatkan kesehatan psikologis sejajar sama pentingnya dengan kesehatan fisik.

Sekarang, mari kita pelajari langkah-langkah pertolongan pertama pada luka psikologis seperti yang dikemukaan oleh Dr. Guy Winch dalam video di atas, yakni:

1. Perhatikan Adanya “Pendarahan” Emosi (Pay Attention to Emotional Bleeding)

Tidak seperti luka pendarahan di kulit, kita sering tidak merasa bahwa kita emosi atau psikologis terluka atau “berdarah” karena memang tidak terlihat. Seperti rasa kesepian (loneliness) yang tidak kita sadari karena tetap dikelilingi orang banyak, misalnya. Memang, karena rasa kesepian itu didefinisikan secara subjektif, saat hubungan emosional dan sosial – yang tak kasat mata – dengan orang sekitar terputus. Padahal, luka psikologis karena rasa kesepian bisa mengacaukan persepsi dan pikiran kita, membuat kita merasa kepedulian orang sekitar jadi berkurang padahal sebenarnya tidak. Juga membuat kita takut membuka diri karena merasa untuk apa membuka diri kalau ujung-ujungnya tidak dipedulikan?

Jangan main-main dengan rasa kesepian, karena rasa ini bisa membunuh kita. Karena luka psikologis bisa menurunkan kesehatan fisik kita secara tidak langsung, perlahan tapi pasti.

Lalu, bagaimana kita bisa mengobati luka psikologis kalau tidak merasa luka psikologis itu ada? Jawabannya: dengan memperhatikan adanya rasa sakit secara emosional.

Dalam video, tidak dijelaskan bagaimana cara memperhatikannya. Tapi kalau saya, saya sedang mencoba memperhatikan adanya rasa sakit emosional itu dengan mencatat emosi yang saya rasakan pada jurnal harian yang ditulis tangan. Semoga ini efektif!

 

2. Hentikan “Pendarahan” Emosi itu (Stop Emotional Bleeding)

Untuk tahap selanjutnya, Dr. Guy Winch mencontohkan bagaimana menghentikan luka emosi karena kegagalan. Setiap orang memiliki reaksi berbeda terhadap kegagalan. Ada yang gagal tapi kemudian mencoba sampai berhasil, ada yang gagal sekali lalu tidak mau mencoba lagi, bahkan ada yang melihat kegagalan orang lain hingga mencoba pun ia tak mau. Tak dipungkiri, reaksi terhadap kegagalan dapat mempengaruhi kepercayaan kita terhadap kemampuan kita. Jika otak kita berpikir bahwa kita tidak bisa dan kita meyakininya, akan sangat sulit untuk kita mengubah pikiran tersebut. Maka, kita harus menghentikan luka emosi dan pikiran buruk secepatnya.

Sangat alami jika kita merasa terpukul dan kalah sesudah gagal, namun jangan biarkan pikiran diyakinkan bahwa Anda tak akan sukses. Anda harus berjuang melawan perasaan tidak berdaya itu. Anda harus mengambil kendali terhadap situasi. Anda harus memutus siklus negatif ini sebelum terlambat. – Dr. Guy Winch.

 

3. Lindungi Harga Diri Anda (Protect Your Self Esteem)

Pikiran dan perasaan kita bukanlah teman terpercaya sebagaimana yang kita kira. Mereka hanya teman dengan suasana hati berubah-ubah, yang pada suatu saat sangat mendukung, tapi di saat lain bisa tidak menyenangkan.

Setelah kita mengalami penolakan (rejection) misalnya, biasanya kita langsung memikirkan semua kesalahan dan kekurangan kita, bahkan memperolok diri seperti ah ya pasti lah aku ditolak, siapa juga yang mau dengan orang bodoh sepertiku? Hei, ditolak saja sudah sakit, mengapa menabur garam di luka dengan melakukannya? Namun kita selalu saja melakukan hal ini pada luka psikologis kita. Mengapa? Karena higienitas emosional kita yang buruk dan tidak memprioritaskan kesehatan psikologis.

Jadi, jika kita mengalami penolakan, pertolongan pertamanya adalah membangkitkan harga diri kita, bukan malah ikut menghajarnya sampai babak belur. Saat kita mengalami luka psikologis, perlakukan diri kita dengan rasa kasih yang sama seperti seorang teman baik.

 

4. Lawan Pikiran Negatif (Battle Negative Thinking)

Kita harus menangkap dan mengubah kebiasaan psikologis yang buruk. Salah satu yang paling tidak sehat dan paling umum disebut ruminasi, yaitu menguyah ulang suatu peristiwa buruk dalam pikiran. Seperti saat atasan meneriaki kita atau dosen membuat kita merasa bodoh, lalu kita tidak dapat berhenti mengulangi kejadian itu di benak kita berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Mengulang kejadian yang menjengkelkan dalam pikiran seperti ini dengan mudah menjadi kebiasaan. Hal ini sangat mahal harganya, karena dengan menghabiskan waktu fokus pada pikiran buruk nan negatif ini, kita sedang menempatkan diri pada resiko depresi klinis, alkoholisme, gangguan makan, hingga penyakit kardiovaskular.

Masalahnya adalah keinginan untuk ruminasi ini terasa sangat kuat, sehingga menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan.

Yang harus dilakukan untuk melawan pikiran negatif itu adalah pengalihan perhatian selama 2 menit saja. Hal ini cukup untuk memutuskan keinginan untuk merenung saat itu. Jadi setiap saat kita mulai khawatir, berpikir negatif, kita harus memaksa diri berkonsentrasi pada hal lain sampai dorongan itu hilang.

 

Itulah 4 langkah pertolongan pertama pada luka hati yang digagas Dr. Guy Winch. Semoga kita semua bisa berlatih menerapkannya dan membuat dunia ini tidak lagi menakutkan, setidaknya untuk kita. Atau yang lebih baik lagi, kita bisa menyebarkan berita baik tentang pertolongan pertama ini kepada orang sekitar, terutama generasi penerus kita. Kalau pertolongan pertama pada kecelakaan fisik sudah ada pelatihannya di mana-mana, mengapa tidak pada kecelakaan hati?

#Writober #RBMIpJakarta #Ibuprofesionaljakarta #Writober5 #TemaTakut #Takut #WorldMentalHealthDay #WorldMentalHealthDay2019 #40secondsofaction #KesehatanMental #PertolonganPertamapadaKecelakaanHati

 

One thought on “Pertolongan Pertama pada Sakit Hati, Memang Ada?

  1. Pingback: Writober Challenge: the Recap | Little Hikari

Leave a comment