Dunia Garis, Bentuk, dan Warna

Dulu saat masih kanak-kanak, dunia garis, bentuk, dan warna begitu dekat dengan saya. Garis, bentuk, dan warna itu saling bekerja sama, beriringan, berharmoni menjadi satu menjadi gambar dua dimensi atau bentuk tiga dimensi. Dunia saya jadi indah karenanya, bahkan saya bisa membentuk dunia milik saya sendiri berkatnya. Corat-coret sana-sini, warna-warni sana-sini.

Saya tidak bilang saya berbakat dalam gambar-menggambar. Prestasi lomba menggambar dari zaman dulu juga nihil. Apalagi saya menemukan dari tes sederhana tentang 8 bakat multiple intelligences, bakat visual spasial saya menempati rangking ke-4 dari 5. Kenapa tidak dari 8? Oh, itu karena ada 2 bakat sekaligus yang menempati masing-masing rangking 1 dan 2. Meski begitu, siapa di dunia ini yang tidak menikmati keindahan visual? Semua orang suka orang ganteng dan cantik kan? Mahakarya ciptaan Allah SWT itu (efek habis lihat orang ganteng di drama Korea).

Di sekolah TK maupun SD, seingat saya tidak terlalu banyak kegiatan berseni rupa itu. Seringnya di sekolah, berseni itu dinomor buncitkan, kalah telak bersaing dengan matematika dan ipa. Jadi saya tidak terlalu pusing dengan pelajaran seni. Tapi lucunya, entah di kelas 3 atau 4 SD dulu, saya pernah kecewa dapat nilai 65 untuk PR menggambar. Bagi saya 65 itu berarti jelek, minimal dapat 75 deh baru saya tenang.

Saya tanya gurunya, “Pak, kenapa saya dapat 65? Kayaknya gambar saya nggak jelek-jelek banget.”

“Ya nggak jelek memang, tapi kamu bukan menggambar pemandangan seperti yang Bapak minta.”

Lho iya Pak, Bapak kan bilang gambar pemandangan. Buat saya, pantai itu juga pemandangan, Pak.”

“Ya tapi, maksud Bapak, gambar pemandangan itu ya gambar gunung, bukan pantai. Teman-temanmu juga pada gambar gunung.”

Amboi! Sungguh hebat doktrin gambar pemandangan itu harus gambar gunung! Apalagi kalau bukan gambar dua gunung bersebelahan dengan matahari menyelinap di tengahnya, yang entah bermaksud terbit atau terbenam. Aku tertawa dalam hati, betapa kreativitas telah mati. Apalah daya, segan melawan guru, kutelan saja pahitnya nilai itu.

Jadi sekarang, saya hanya melabel diri sebagai penikmat seni saja, bukan pencipta seni. Penikmat yang sering iri tipis-tipis dengan pencipta seni. Saya tahu, seni itu memang bidang paling abu-abu. Tidak ada benar dan salah, tidak ada bagus atau jelek. Yang bagus bagi orang lain, belum tentu bagus di mata kita. Seperti halnya bagi saya, suami saya ganteng, mungkin di mata orang lain tidak (haha ini tulisan bumbu micin saja).

Tapi, satu hal yang saya perhatikan. Semua anak, yang berbakat maupun yang tidak, pasti suka dengan seni rupa. Mungkin karena otak kanan anak perempuan dan anak laki-laki sedang berkembang dengan gencar. Atau karena gambar adalah media komunikasi yang mereka sukai, apalagi bagi yang belum bisa menulis.

Baru kemarin saya menemukan ada buku esai yang membahas gambar anak. Tema yang jarang dibahas ini ada dalam buku Gambar Anak dan Kisah-kisahnya. Memang ada apa dengan gambar anak? Saya juga belum tahu detailnya. Semoga nanti ada kesempatan baca dan meresensi buku tersebut, ya. Bukunya sudah masuk daftar tunggu baca saya. Yang saya tahu pasti, saya ingin mendampingi anak berproses dengan baik dalam bersinggungan dengan hal seni ini. Bismillah, jangan sampai mendemotivasi seperti guru yang saya ceritakan tadi. Walau ada saatnya beliau juga memotivasi saya juga kok. Maklum guru konvensional, belum tahu kalau kalau demotivasi semacam itu kurang tepat.

Buku Esai: Gambar Anak dan Kisah-kisahnya

#Writober #RBMIpJakarta # #WritoberChallenge #Writober10 #WritoberGaris #Garis #Kontemplasi

One thought on “Dunia Garis, Bentuk, dan Warna

  1. Pingback: Writober Challenge: the Recap | Little Hikari

Leave a comment