0

Treasure a family in Japan!

At the first time, I though that many Japanese people tend to avoid talking to or being near stranger, as I knew from they teach their child : “don’t talk to stranger”.
In this case, I’m a stranger, plus a foreigner.

But I’ve found that I couldn’t generalize it simply after meeting my host family, Ohmiya Family. The family is one of the HIPPO family club member, a club in which they accept foreigner to have a homestay in their houses in order to learn languanges.

I first met them on November 2011, when I had a chance to stay one night in their house. Ohmiya family consists of the father (Kazuhisa), the mother (Sachie), and the 6-year-old-son (Itsuki). I really couldn’t speak Japanese except greetings at that time,  so it was a bit hard for us to communicate. But with the help of mobile phone’s dictionary and (many) body languanges, at least we didn’t have misunderstanding ;-p

In the night, we had dinner together, featuring Apa Kabar-san (it’s a HIPPO club nickname, given to her because she once lived in Bandung for several years and I don’t know her real name up to now) and also Rumi-chan. I cooked fried rice for them (since Sachie-san had bought Indonesian fried rice seasoning in Kaldi Shop so they just had me cook, hehe). I felt relieved they didn’t have me cook something as not piece-of-cake as fried rice –> rendang, for example. With prawns and scrambled eggs as the topping, I felt it was perfect! Yes, I felt the taste was also perfect for them, it was not spicy at all! But……they said it was spicy after all!
haa, Japanese people really can’t stand the chilly’s spiciness even a bit! I should’ve known that!  Then they really struggled to eat it until the last piece of rice, for respecting this-so-spicy-food-for-Japanese I made, I guess, making me felt guilty in the end.

0

Mindset & Metode Gemar Rapi

Pernahkah merasa sudah merapikan barang tapi hanya rapi sebentar? Atau merasa selalu berbenah sampai capek tapi tidak kunjung rapi? Jadi stres sendiri kalau begini ya. Mungkin, cara berbenah kita kurang tepat nih. Contohnya:

  • Hanya menata barang tanpa mengurangi barang
  • Hanya bertujuan membuat rumah rapi tapi tidak mengubah mindset, gaya hidup, dan kebiasaan.
  • Memilah barang pada dasar suka/tidak suka
  • Tidak selaras alam
  • Tidak memperhatikan kebutuhan setiap penghuni
  • Kurang memeperhatikan keselamatan dan keamanan

Nah, saya mau mencoba menguraikan ilmu baru dari Kelas Gemar Rapi nih tentang mindset dan metode gemar rapi ini. Kata founder-founder Gemar Rapi, metode ini sudah disesuaikan dengan karakteristik dan budaya Indonesia. Saya rasa metode ini sangat komprehensif karena menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan kita (misalnya aspek keamanan, mindfulness, dan keselarasan dengan alam, dsb.). Saya pun merasa metode ini cukup fleksibel karena bisa disesuaikan dengan kebutuhan, kepribadian, dan value orang yang berbenah. Lalu, apa sih khasnya metode Gemar Rapi? Berikut ciri khas atau karakteristik metode ini.

Karakteristik Metode Gemar Rapi:

  1. Pembentukan Mindset, Pendekatan Spiritual, dan Perubahan Habit

Karakteristik ini adalah bahan bakar motivasi diri dalam berbenah, karena mencakup “big why” alasan beebenah.

Mindset yang perlu dibangun: growth mindset (pola pikir berkembang), berbenah adalah keahlian yang bisa dipupuk dengan usaha keras.

Pendekatan spiritual : berbenah adalah bentuk ibadah kepada Allah SWT dan sebuah usaha untuk meringankan hisab di akhirat kelak

Perubahan habit : berbenah adalah membentuk kebiasaan baru sehingga menjadi gaya hidup.

2. Personalized, Potensi Individu, Ramah Anak

Rumah: tempat individu keluarga beraktivitas untuk mengembangkan potensinya. Sehingga berbenah harus disesuaikan dengan kebutuhan aktivitas individu keluarga dan diusahakan ramah anak.

3. Faktor Kesehatan dan Menghargai Perasaan

Berbenah rumah harus memperhatikan faktor kesehatan, misalnya letak ventilasi udara karena mempengaruhi kualitas udara rumah. Juga menghargai kepemilikan barang setiap individu di rumah saat berbenah.

4. Safety First, Aman Kondisi, Aman Perbuatan

Berbenah harus memperhatikan aspek keamanan dalam rumah, misalnya memasang busa di sudut meja saat ada balita di rumah.

5. Sustainable, Rumah Ramah Alam, Less-waste, Tidak Konsumtif

Saat berbenah, kita harus mengembangkan aspek keberlanjutan/sustainability, agar sisa konsumsi dan barang yang tidak dibutuhkan lagi dapat dikeluarkan dari rumah dengan cara yang tidak membahayakan alam. Gaya hidup minim sampah juga erat kaitannya dengan berbenah.

———————————————-

Selanjutnya, kita akan mengenal 8 pilar berbenah ala Gemar Rapi. Jika karakteristik yang telah saya jabarkan di atas adalah ciri khas, maka 8 pilar prinsip berbenah adalah tiang-tiang yang membangun ciri khas tersebut.

Delapan Pilar Metode Gemar Rapi

  1. Dilakukan oleh Pemilik Barang (Owner)

Berbenah = tanggung jawab individu. Pemilik barang hendaknya melakukan listing/perhitungan jumlah seluruh barang pribadi yang dimiliki.

2. Penguatan Mindset Gemar Rapi sebagai Pondasi Awal

Mindset Gemar Rapi = growth mindset (pola pikir bertumbuh), yaitu keyakinan bahwa berbenah merupakan sesuatu yang dapat dikembangkan dan dilatih.

3. Perubahan Kebiasaan sebagai Tujuan

Tujuan akhir berbenah = adanya perubahan kebiasaan yang lebih baik, sekecil apapun itu.

4. Pengurangan Barang (Declutter)

Jumlah barang yang kita miliki sebaiknya pas sesuai kebutuhan (sederhana, penuh syukur, tidak berlebihan). Acuan dasar seleksi:

  • Apakah masih bermanfaat & kita gunakan?
  • Apakah menambah nilai hidup kita (dunia & akhirat?)

5. Menyesuaikan Kondisi Individu (Personalized)

Proses berbenah tiap individu bisa jadi berbeda karena nilai yang dianut tiap orang berbeda-beda.

6. RASA Sebagai Prinsip (Principles)

Prinsip ini digunakan sebagai checklist hasil berbenah (saat berbenah & evaluasi/monitoring rutin).

R = Rapi & teratur

A = Aman & nyaman

S = Sehat & bersih

A = Alami & berkelanjutan

7. Memenuhi Standar Safety & Hygiene

  • Higienis: sebisa mungkin steril dari dari kuman & sumber penyakit, contoh mengelap meja dapur dengan baking soda & cuka.
  • Safety: Berkaitan dengan keselamatan & keamanan (security) penghuni

Berikut 9 home safety rules ala GEMAR RAPI:

G = Gunakan alat & bahan yang aman

E = Evaluasi tata letak benda

M = Mudahkan akses benda (terutama untuk anak-anak & lansia)

A = Ajarkan penghuni rumah untuk mengembalikan benda ke tempatnya

R = Rapikan segera jangan tunda

R = Rancang SOP keamanan & keselamatan rumah bersama seluruh penghuni rumah

A = Ajak seluruh penghuni rumah untuk saling mengingatkan bertindak aman

P = Pasang pengaman tambahan untuk anak-anak, lansia, & difabel

I = Ingat selalu bahwa bertindak aman adalah bentuk kepedulian kita pada seisi rumah

8. Tidak Mencemari Lingkungan

Jangan asal buang benda yang sudah dipilah & tidak terpilih. Kelola denga 8R (yang merupakan urutan prioritas pada suatu barang):

  • Refuse (hindari)
  • Reduce (kurangi)
  • Reuse (Pakai berkali-kali)
  • Recycle (bentuk kembali)
  • Rehome (donasi)
  • Repurpose (alih fungsi)
  • Replant (tanam kembali)
  • Rot (kembali ke bumi, misal proses pengomposan)

Tindakan R ke-1 dan 2 adalah tindakan preventif (pencegahan), yaitu mencegah barang masuk ke rumah yang berpotensi menjadi sampah.

Tindakan R ke-3 dan seterusnya adalah kuratif, yaitu tindakan yang dilakukan bila sampah sudah terjadi.

#TASK2GP6 #gemarrapi #gemaripratama #gemaripratama6 #kelasGP6_4 #menatadirimenatanegeri #gemariclass #metodegemarrapi #berbenahalaindonesia #indonesiarapi #segemaritu

0

Mindset Gemar Rapi

Berdasarkan kuis yang saya lakukan di situs https://clutterbug.me/what-clutterbug-are-you-test untuk mengetahui gaya berbenah saya (jenis clutterbug), saya adalah tipe “Ladybug”. Menurut situs tersebut, tipe ladybugs (kepik) adalah pengatur tersembunyi yang menyukai barang yang dipakai mereka sehari-hari tidak terlihat atau tersembunyi. Tipe ini kesulitan untuk mempertahankan sistem berbenah/manajemen yang detail dan cenderung menyembunyikan barang-barang agar tidak terlihat, sehingga mereka membutuhkan keranjang besar dengan kategori yang lebih sedikit dan kurang detail. Intinya, saya suka jika barang-barang saya tidak terlihat (jadi tidak banyak barang yang “dipajang” di rumah atau tidak di atas meja, dan pengaturan barang dalam tempat penyimpanan pun tidak terlalu detail atau simpel saja).

Dalam mengatur ekspektasi berbenah, musim saya saat ini adalah berbalita, sehingga tentu saya harus memaklumi bahwa ada saatnya setidaknya ruang bermain anak berantakan ketika anak sedang bermain atau belajar mengeksplorasi sesuatu.

Mindset gemar rapi yang ingin ditumbuhkan:

  • Growth Mindset (Pola Pikir Berkembang): saya ingin memiliki keyakinan bahwa saya bisa berbenah dan terus berproses agar lebih rapi karena berbenah bisa dipelajari.
  • Berbenah itu tanpa henti: berbenah itu adalah proses yang akan selalu kita jalani selama hidup, jadi tentu saya harus berkeyakinan bahwa berbenah itu memang perlu dan prosesnya menyenangkan.
  • Rapi adalah gaya hidup: saya ingin agar saya memiliki kebiasaan baru menjadi senang berbenah, sehingga rapi menjadi cara saya hidup di mana pun dan kapan pun saya berada.
  • Rumah adalah ruang aktif: rumah adalah tempat seluruh keluarga beraktivitas dan hanya barang-barang yang diperlukan sajalah yang ada di rumah.
  • Berbenah itu tanda cinta: berbenah adalah cara kita merawat diri sendiri, keluarga, dan lingkungan kita. Sehingga, saya akan melakukannya dengan penuh cinta.
  • Berbenah itu harus dengan penuh kesadaran (mindful): berbenah dikerjakan dengan sepenuh jiwa dan raga.

    Prioritas hidup saya saat ini adalah:
  • Belajar agama untuk mendekatkan diri saya pada Allah
  • Berkhidmat pada suami, dan salah saty jalannya adalah belajar dan memperbaiki diri dalam berbenah rumah, karena suami menginginkan agar saya menjadi pribadi yang lebih rapi
  • Mendidik dan mengasuh anak

#TASK1GP6 #gemarrapi #gemaripratama #gemaripratama6 #kelasGP6_4 #menatadirimenatanegeri #gemariclass #metodegemarrapi #berbenahalaindonesia #indonesiarapi #segemaritu

0

Kenapa Harus Berbenah?

Bismillah. Karena saya ingin berbenah, tentunya saya perlu ‘big why’ kenapa harus berbenah agar nantinya selalu termotivasi dan konsisten dalam berbenah. Selain karena alasan spiritual, yaitu kalau di agama saya (Islam) adalah suatu hal yang harus dilakukan karena kita akan dihisab tentang harta kita kelak, saya akan membahas tentang alasan clutter di rumah saya.

Apa itu clutter?

Definisi “clutter” menurut Cambridge Dictionary (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/clutter), clutter is (a lot of objects in) a state of being untid (as a noun), to fill something in an untidy or badly organized way (as a verb). Jadi “clutter” bisa menjadi kata benda yang artinya banyak benda dalam keadaan tidak dirapikan dan bisa menjadi kata kerja yang artinya mengisi sesuatu dengan cara yang tidak rapi atau tidak terorganisir dengan baik.

Menurut Gemar Rapi, “clutter” adalah bahasa Inggris dari kekacauan/kebisingan/kekusutan/keributan. “Clutter” adalah segala sesuatu yang tidak enak dilihat, didengar, dan dirasakan. Dalam hal rumah yang tidak rapi, cluuter dalapat berupa benda-benada yang bertebaran (berantakan) dan tidak memiliki ‘rumah’ ataupun benda-benda berserakan yang tidak dikembalikan ke tempat asalnya setelah digunakan. Clutter dapat berupa tumpukan benda-benda yang terabaikan dan tidak dimanfaatkan dengan optimal. Kalau dibayangkan, berarti tumpukan barang y di gudang yang sudah tidak digunakan itu termasuk clutter ya.

Clutter sebenarnya masalah yang merupakan siklus, karena merupakan sebab-akibat yang tidak terputus. Awalnya kita merasa stres, overwhelm, dan tidak nyaman. Akibatnya, kita enggan & menunda merapikan rumah sehingga terbiasa dengan rumah yang berantakan. Rumah yang berantakan ini biasanya terlalu banyak barang sehingga storage penuh dan rumah terasa sempit. Akhirnya kita merasa bertambah stres, dan siklus pun berulang. Kalau saya, sepertinya berawal dari penundaan untuk merapikan rumah, lalu berulanglah siklus tersebut. Makin berantakan dan sesak, makin malas dan makin menundalah saya untuk merapikan rumah.

Dampaknya bagi saya, clutter ini utamanya menyebabkan saya sulit mencari barang dan mudah lupa di mana saya meletakkan barang, sehingga menjadi sumbu pendek (apalagi buat suami saya yang kesal melihat saya lupa meletakkan barang di mana). Akibatnya saya menjadi lamban dan sering terlambat karena banyak menghabiskan waktu untuk mencari barang. Kadang hal ini menyebabkan saya stres dan lelah. Kadang juga membuat suasana di rumah menjadi tidak aman karena terlukan akibat menginjak barang yang tercecer. Pada sebagian orang, hal ini menyebabkan masalah kesulitan tidur.

Nah, bagaimana kondisi rumah saat ini?

Saat ini saya sedang “numpang” selama beberapa bulan di rumah saya yang biasanya dikontrakkan, karena rumah asli saya sedang direnovasi total. Rumah saya sebenarnya tidak terlalu banyak barang karena sudah decluttering cukup banyak sebelum pindahan. Tapi saya tidak punya cukup tempat penyimpanan (apalagi lemari) untuk menempatkan barang secara rapi karena rencananya jika membeli lemari atau banyak storage akan kami lakukan saat pindah kembali ke rumah asli. Banyak barang dari beberapa kategori yang saya tempatkan di boks besar sehingga cukup tercampur dan jadi membuat saya malas mengembalikan barang ke boks-boks itu.

Berikut beberapa clutter di rumah saya:

Clutter di ruang main anak (ada mainan dan buku)
Karena terletak di bagian paling depan rumah, ada helm dan sepatu juga, hehe. Jangan ditiru ya, harusnya ada storage sendiri ni
Clutter buku dan barang lainnya di kamar utama
Clutter peralatan dapur dan makanan di dapur. Karena tidak ada lemari penyimpanan, jadi barang-barang dimasukkan ke boks.

Karena keadaan rumah seperti ini dan dampaknya ke saya dan keluarga yang kurang baik inilah, saya merasa perlu berbenah. Mungkin di kelas Gemari Pratama ini, sampai tahap mengurangi jumlah barang dan menyediakan storage untuk beberapa barang (mungkin tidak semua karena mungkin saja butuh lemari dan hal tersebut baru akan dilakukan di rumah asli saya, bukan rumah yang ini, hehe.). Mohon do’anya ya!

#percobaanTask #gemarrapi #gemaripratama #gemaripratama6 #kelasGP6_4 #menatadirimenatanegeri #gemariclass #metodegemarrapi #berbenahalaindonesia #indonesiarapi #segemaritu

1

Let’s Read Aloud! Yuk, Buat Anak Ketagihan Membaca!

“Ibu, bacakan! Bacakan!”, seru anak lelaki saya seraya membawa buku dengan tokoh bus kesayangannya. Di usianya yang sekitar 20 bulan itu, dia sudah bisa menagih ayah dan ibunya untuk membacakan buku dan punya buku favorit. Pun banyak orang yang bilang anak saya yang baru berulang tahun ke-2 ini cerewet. Ia sudah bisa menyusun hingga 6 kata dalam 1 kalimat. Banyak juga kosakata yang jarang didengar sehari-hari yang keluar dari mulutnya. Akhirnya orang-orang penasaran, dari mana anak saya tahu kata-kata itu? Saya jawab, anak saya tahu kata-kata itu dari buku atau bacaan. Kemudian mereka heran, memangnya anak bayi bisa baca? Malah ada juga yang berpikir, kok boros sekali masih bayi dibelikan buku? Melalui tulisan ini, saya akan berbagi cara saya menumbuhkan minat baca anak dengan mudah, menyenangkan, dan ekonomis:

1. Membacakan buku pada anak sedini mungkin secara rutin

Punya bayi atau malah masih janin dalan kandungan? Atau punya anak-anak yang sudah besar, usia belasan tahun? Nah, bacakan mereka cerita, yuk! Ya, mau mereka belum bisa atau sudah bisa membaca, semua orang (termasuk kita, orang dewasa) pasti suka dibacakan cerita. Saat Ahnaf baru lahir pun sepertinya dia senang sekali dibacakan buku. Saat sudah bersuara, dia seperti menanggapi dengan bersuara “hao..hao..”. Masya Allah, lucu sekali kalau diingat-ingat.

Cara membacakan buku ini mudah sekali. Kita tinggal buka buku, koran, majalah, buku digital (e-book), dan lain-lain lalu bacakan kepada mereka. Cara ini belakangan populer disebut “membacakan nyaring” atau dalam Bahasa Inggris disebut read aloud.

Membacakan nyaring terbukti mudah dan efektif dalam meningkatkan minat baca anak, karena cara ini adalah aktivitas membaca menyenangkan. Kesenangan tersebut tercipta dari interaksi yang menyenangkan antara orang tua/pengasuh sebagai yang membacakan dan anak sebagai yang dibacakan. Jadi, menurut saya agak mubadzir kalau kita membelikan anak banyak buku tapi tidak pernah kita bacakan nyaring. Seperti saat saya kecil dulu, saya punya banyak buku tapi tidak pernah dibacakan nyaring oleh orang tua, membuat saya hanya sedikit membaca.

Ayah Ahnaf membacakan nyaring cerita berjudul Senangnya Membantu Ibu karya Dian A. Dewi (booklet dicetak dari situs Let’s Read)

Agar anak sampai ketagihan membaca, tentu ada syaratnya. Yaitu:

  • Konsisten

Kita harus membacakan nyaring secara rutin. Bu Roosie Setiawan, pakar membacakan nyaring Indonesia, merekomendasikan setidaknya kita membacakan buku setiap hari sekitar 10 – 15 menit. Konsisten ini ternyata penting. Saya pernah beberapa pekan sempat absen membacakan buku kepada anak saya. Akibatnya, minat membaca anak turun drastis dan kami perlu membacakan nyaring setiap hari selama beberapa pekan hingga anak kembali menyukai aktivitas membaca. Jadi, kalau kita sangat sibuk lalu hanya 10 menit per hari untuk anak, ditambah bingung mau main apa dengan anak, yuk bacakan nyaring saja!

  • Membaca menyenangkan

Manusia suka dengan hal yang menyenangkan. Jadi, kita harus membuat membaca sebagai aktivitas yang menyenangkan. Membacakan nyaring bisa dengan intonasi, mengubah-ubah suara dan ekspresi sesuai tokoh dan jalan cerita, sambil bernyanyi, dan hal lain yang menyenangkan. Saya pun membacakan nyaring sembari tertawa dengan anak, peluk-peluk atau gelitik anak, akting heboh saat jadi tokoh cerita, dan lain-lain. Lalu, jangan terlalu santai seperti orang loyo, atau terlalu serius seperti menugaskan anak membuat resensi buku seperti tugas sekolah.

  • Orang tua perlu persiapan sebelum membacakan nyaring

Layaknya berperang, membacakan nyaring juga perlu persiapan. Tapi, persiapannya tidak sulit juga kok. Kita perlu mempersiapkan bahan bacaan dan membaca bahan bacaan itu sebelum kita bacakan pada anak. Dengan membaca bahan bacaan sebelum disuguhkan ke anak, kita bisa mempersiapkan intonasi, suara, dan ekspresi seperti apa saat membacakannya kepada anak nanti.

2. Menjadi teladan dan belajar tentang membacakan nyaring

Anak melihat, anak melakukan. Ya, anak biasanya jadi senang membaca kalau melihat orang tuanya senang membaca, atau minimal merasakan bahwa orang tuanya senang membacakan buku untuknya. Belajar membacakan nyaring juga membuat saya semakin semangat membacakan nyaring untuk anak. Karena saya jadi tahu langkah yang benar, hingga tahu bagaimana mengatasi tantangan saat membacakan nyaring. Ada dua buku yang saya rekomendasikan untuk belajar membacakan nyaring, yaitu The Read Aloud Handbook karya Jim Trealease dan Membacakan Nyaring karya Roosie Setiawan.

Buku The Read Aloud Handbook karya Jim Trealease (kiri) dan Membacakan Nyaring karya Roosie Setiawan (kanan)

Selain membaca kedua buku tersebut, saya juga mengikuti pelatihan membacakan nyaring. Tapi, jika kita tidak punya waktu untuk belajar lebih jauh tentang membacakan nyaring, kita bisa mencontoh cara membacakan nyaring yang sudah banyak dilakukan orang melalui media sosial seperti Youtube. Saat butuh teman untuk saling menyemangati membacakan nyaring, saya juga mengikuti media sosial serta kegiatan yang diadakan komunitas membacakan nyaring di kota saya. Anda pun juga bisa mencari komunitas membacakan nyaring di kota Anda karena sudah banyak tersebar di seluruh Indonesia.

3. Memiliki akses bahan bacaan (dengan hemat)

Berapa jumlah minimal bahan bacaan cetak yang dimiliki anak? Jim Trelease mengatakan dalam bukunya, The Read Aloud Handbook, kita cukup memiliki selusin buku. Lalu, letakkanlah di tempat yang mudah dijangkau dan terlihat oleh anak. Hal ini dimaksudkan sebagai wadah imajinasi anak ketika ia membutuhkannya.

Tapi, saat kita sudah ketagihan membaca nyaring, biasanya kita jadi suka belanja buku. Belanja buku memang kami adakan alokasinya dalam keuangan keluarga. Tapi, kadang alokasinya kurang cukup karena anak kami cepat bosan dan membutuhkan cerita baru setiap 2-3 pekan. Berikut beberapa siasat saya:

a. Mengajak anak wisata ke perpustakaan atau taman baca

Jika kita sama sekali kurang mampu memiliki beberapa buku, kita bisa membawa anak ke perpustakaan atau taman baca terdekat. Sebelum ada pandemi COVID-19, saya sering mengajak anak ke perpustakaan atau taman baca yang tersedia di RPTRA kelurahan kami. Meski seringnya ia hanya eksplorasi ruangan dan membolak-balik beberapa buku, tapi satu-dua cerita berhasil saya bacakan untuknya. Ia pun senang bisa bertemu beberapa teman. Semoga pandemi COVID-19 ini segera berakhir agar kami bisa menikmati kebersamaan ke perpustakaan daerah/nasional atau taman baca.

Mengunjungi Perpustakaan Nasional di tahun 2019

b. Membeli buku bekas atau menyewa buku

Membeli buku bekas atau menyewa buku memang hemat. Membeli buku bekas pun harus hati-hati dan teliti apakah benar-benar masih layak dibaca atau tidak. Menyewa buku adalah jalan yang lebih hemat, tetapi lebih was-was karena saya khawatir tidak bisa menjaga bukunya karena anak saya masih batita yang belum bisa menjaga kondisi buku dengan baik. Jadi, kami hanya pernah sesekali membeli buku bekas.

c. Membaca buku digital melalui Let’s Read

Cara terakhir ini adalah cara saya yang paling pamungkas. Mudah, hemat, dan tanpa was-was. Caranya adalah membaca buku digital (e-book) yang resmi (bukan bajakan) dan gratis. Saya memperolehnya melalui aplikasi android dan situs Let’s Read sejak tahun lalu. Banyak keunggulan yang membuat saya sangat menyukai Let’s Read:

  • Cerita berkualitas dalam berbagai bahasa

Cerita-cerita yang ada di Let’s Read sangat bervariasi dan dekat dengan kehidupan anak. Ilustrasinya pun bagus dan kualitas cerita terjaga oleh editor buku anak profesional. Selain dalam bahasa Indonesia, kita bisa mendapatkan cerita dalam bahasa daerah (seperti bahasa Sunda, Jawa, dan Minang) dan bahasa asing (bahasa Inggris, Arab, Tagalog, dsb.). Anak saya suka cerita yang diterjemahkan ke bahasa Jawa berjudul Kipas Angin Raksasa karya Iem Tithseiha dan Pisey Chan. Ia tertawa-tawa saat ada kosakata Jawa yang menurut dia lucu atau saat saya membacanya dengan aksen medhok khas Jawa. Menyenangkan sekali.

Selain itu, cerita-cerita yang disuguhkan Let’s Read juga banyak memiliki pesan moral. Saya merasa hal ini sangat membantu orang tua menanamkan nilai-nilai kebaikan dengan cara yang menyenangkan, tanpa menasehati anak secara berlebihan.

Tampilan aplikasi Let’s Read
  • Cerita dapat dipilih berdasarkan tema dan kemampuan bahasa anak

Kita bisa memilih cerita berdasarkan tema, misalnya tema sains, pemecahan masalah, kesehatan, dsb. Cerita tentang virus COVID-19 pun ada di Let’s Read, yang berjudul Covibook, karya Manuela Molina. Cerita juga dapat dipilih berdasarkan kemampuan baca anak. Jadi, ada tingkatan atau level bacaan anak. Misalnya, anaknya sudah bisa memahami cerita dengan 2 kalimat pendek dalam satu halaman, kita bisa memilih cerita level 2. Menurut saya, sesekali kita juga bisa memilih cerita yang levelnya setingkat di atas kemampuan anak untuk meningkatkan kemampuan baca dan pemahaman anak. Dengan Let’s Read, saya dan anak banyak belajar kosakata yang jarang dipakai sehari-hari. Saya saja baru tahu kata “tukik” yang artinya anak penyu dari cerita berjudul Mau Dibawa ke Mana? karya Intan Tri Istanti dan Vannia Rizky Santoso.

Salah satu cerita dalam aplikasi Let’s Read, berjudul Mau Dibawa ke Mana? karya Intan Tri Istanti dan Vannia Rizky Santoso
  • Akses yang mudah dan dapat dicetak menjadi booklet

Saat ada kuota internet atau dalam jaringan (daring), kita bisa mengunduh cerita-cerita di Let’s Read untuk dibacakan saat offline atau saat di luar jaringan (luring). Untuk orang tua yang berprinsip tidak memaparkan buku digital atau layar gawai pada anaknya, cerita yang telah diunduh di laman situs Let’s Read dapat dicetak sendiri dengan printer. Tentu dengan syarat untuk keperluan pribadi, sekolah, atau taman baca, bukan untuk tujuan komersial.

Jadi, tunggu apa lagi? Yuk segera unduh aplikasi Let’s Read di gawai Anda atau kunjungi situs Let’s Read dan mulailah membacakan nyaring bersama anak!

4

Suatu Hari, Saat Pospak Belum Ada…

Pertanyaan untuk orang tua milenial:

Pernah tidak terpikir bagaimana kehidupan pengasuhan sebelum adanya popok sekali pakai (pospak) & popok kain modern (clodi)?

Atau…

Bagaimana jika kita hidup tanpa pospak & clodi?

Pertanyaan itu (anehnya) baru muncul di pikiran saya saat anak sudah berusia 16 bulan. Betapa telatnya. Selama ini di rumah dia pakai clodi (cloth diaper alias popok kain modern), saat bepergian pakai pospak. Tapi, kalau lihat ibu-ibu di desa, kok mereka tahan ya tidak pakai popok apa pun ketika anaknya sudah bisa jalan?

Saya yang tergelitik akhirnya mencari tahu lewat internet, apa saya sudah bisa men-toilet training anak saya? Eh, saat pansos saya menemukan hal yang cukup mengejutkan. Di Amerika, sebelum tahun 1959 saat produk pospak pertama diluncurkan, 92% anak usia 18 bulan sudah lulus toilet training (NY Times, 1999). Tapi, di tahun 2001, usia rata-rata anak selesai toilet training adalah 35 bulan untuk anak perempuan dan 39 bulan untuk anak laki-laki (Ambulatory Pediatrics Journal, 2001). Wah, jadi 2 kali lipat ya! Coba perhatikan perkembangan usia toilet training di US berikut.

Nah, bagaimana dengan di Indonesia? Saya belum menemukan penelitian serupa yang mencakup keseluruhan se-Indonesia. Tapi ada beberapa penelitian yang mencakup daerah tertentu, seperti di sebuah desa di Jogja misalnya, anak mulai dilatih bertoilet sejak usia 12 bulan. Tentu, pospak adalah barang mewah di desa, jadi sebisa mungkin anak dibiasakan tidak pakai pospak. Kalau di sekitaran saya sendiri yang notabene di perkotaan, teman-teman saya rata-rata men-toilet training anaknya sejak usia 2 tahunan. Baru ada 2 orang yang saya temui mulai “lepas popok” anak di usia 12 bulan. Empat orang di antaranya malah baru mulai toilet training saat anaknya 3 tahun. Di grup birth club Juni 2018 (seumur dengan baby A), hanya 5 orang yang pernah atau sedang mencoba toilet training dan belum ada yang berhasil.

Saya kembali mengulik situs di mana saya menemukan fakta tentang usia toilet training di US, yaitu godiaperfree.com (klik untuk menuju laman). Penulisnya bernama Andrea Olson, seorang ibu dari 5 anak yang semuanya ditatur sejak lahir. Ia memperkenalkan metode tatur alias elimination communication (EC) sebagai solusi dari ketergantungan orang tua terhadap popok (ya orang tua yang memilih memakaikan popok kan, bukan bayi?). Tentu saja, tatur ini sebenarnya bukan hal baru. Kakek-nenek kita, orang tua kita, atau bahkan kita sendiri dulunya ditatur. Masih belum tahu apa itu tatur? Itu lho, saat orang tua/pengasuh membawa/menggendong si anak di atas pispot dan bilang “pisss…pissss” supaya si bayi pipis. Sounds familiar? Sampai saat ini saya belum menemukan kosakata baku dari tatur di KBBI. Mungkin ada yang bisa bantu?

Tatur ini sesungguhnya adalah cara orang tua berkomunikasi dengan bayinya untuk memenuhi kebutuhan si bayi berupa “pembuangan hajat”. Sama halnya seperti orang tua memenuhi kebutuhan bayi saat ia lapar (jadi segera disusui atau diberi makan), saat mengantuk (jadi dinyamankan supaya bisa tidur), dan kebutuhan lain. Karena tatur adalah tentang komunikasi, tentu hal ini bermanfaat juga untuk mempererat bonding antara orang tua/pengasuh dengan si bayi. Tatur memberi informasi yang benar kepada bayi kalau pembuangan hajat itu di pispot/tempat buang hajat lain. Bukan di popok karena popok bukan toilet.

Baru-baru ini saya mendengar ceramah seorang ustadz yang mengajarkan pendidikan berbasis fitrah tentang hal tatur ini. Kata beliau, sudah fitrahnya bayi tidak suka & tidak nyaman dengan najis dan basah. Jadi kalau orang tua memakaikan pospak dan lambat laun fitrah tersebut pudar, akan sulit mengembalikannya lagi. Orang tua akan harus mengajarkan toilet training dari nol. Kalau orang tua mengajarkan secara benar dari awal tentang pembuangan hajat, secara alami anak itu akan bilang kalau mau buang hajat saat ia bisa bicara. Beliau tidak menyebutkan kata tatur sih, tapi saya rasa tatur adalah cara yang beliau maksud.

Saya terhenyak. Betapa tatur seharusnya menjadi common sense orang tua. Tapi sekarang, common sense itu mulai berubah menjadi “popok adalah kebutuhan untuk bayi”. Padahal, kebutuhan bayi bukanlah popok, tapi buang hajat. Sebelum saya tahu tentang tatur ini, Alhamdulillah saya masih punya sedikit common sense tatur. Saat anak saya mulai MPASI, saya tahu tanda anak saya mau BAB (yang sebenarnya saya tahu sejak ia lahir). Kalau tanda itu muncul, spontan saya bawa dia ke toilet. Mungkin juga karena saya malas mencuci clodi yg kena pup, saya jadi punya sense untuk membawa dia ke toilet 😁. Intinya saya tidak mau dia BAB di clodi atau pospaknya. Setiap bangun tidur pagi pun, sejak usia 6 bulanan, ayahnya selalu rajin membawa si kecil ke toilet untuk BAK. Itu common sense ayahnya. Terima kasih Ayah 😉. Jadilah sejak itu secara alami kami melakukan apa yang Andrea Olson (pakar tatur USA) sebut sebagai part-time EC. Part-time karena saya tidak full seharian membawa anak ke toilet saat ia mau buang hajat, hanya saat BAB dan BAK pagi.

Saya sangat menyayangkan kalau ada orang tua yang common sense nya untuk hal ini sudah hilang. Pernah saat ke suatu mall dan anak sedang bermain outdoor, saya mencium bau kotoran BAB. Saya cari asal baunya, sambil bilang “Baby A, kamu eek ya?” lalu mengecek ternyata Baby A tidak BAB. Nah, seorang ibu di dekat saya ikut mengecek popok anaknya yang sekitar umur 2-3 tahun, dia bilang “oh, anak saya yang BAB”. Eh, beliau bukannya segera membawa anaknya ke toilet, malah membiarkan anaknya lari-larian lagi. Sekitar 15 menit kemudian, baru anaknya ganti popok di tempat ortunya duduk (bukan di toilet) dan dibersihkan pakai tisu basah (duh bukan air?!). Popok yang terkena kotoran BAB pun tidak segera dibuang, malah dibiarkan di lantai dengan keadaan agak terbuka karena dilipat seadanya. Saya melihat popok yang terburai itu saat saya menoleh ke sana dan sudah buru-buru mau pulang, jadi tidak sempat menegur. Aduh, saya cuma berharap salah lihat saja deh. Saya yang dulu pernah membiarkan Ahnaf BAB dulu di popok baru membersihkannya jadi merasa bersalah. Meski ya tidak tunggu 15 menit baru dibersihkan.

Saya pun sekarang masih berjuang untuk lepas popok, Alhamdulillah terbantu dengan Ahnaf yang sudah bisa bilang kalau mau BAB dan intuisi saya yang kadang menebak tepat kalau Ahnaf mau BAK. Kadang masih kecelakaan pipis juga di training pants. Kalau bepergian pun masih pakai pospak sebagai back-up nya. Baru tadi bepergian untuk makan siang dan vaksin, Alhamdulillah pulang dengan pospak kering karena di sana saya sempatkan Ahnaf ke toilet untuk pipis. Belum konsisten memang. Saya tidak menargetkan Ahnaf harus sudah toilet trained saat usia sekian, hanya berharap saya bisa saling berkomunikasi sama Ahnaf tentang kebutuhan buang hajatnya ini saja. Mohon do’anya 😉. Hanya memang saya harus ingat, pocspak dan clodi hanyalah back-up, bukan toilet.

#tatur #toilettraining

Pengalaman Khitan Anak 17 Bulan

Alhamdulillah, akhirnya si young toddler baby A sudah dikhitan saat usianya 17 bulan. Sebenarnya saya sudah mengajukan khitan semenjak ia berusia 3-4 bulan. Kulup penisnya sulit ditarik sehingga rentan infeksi karena pembersihannya bisa tidak maksimal. Ajuan saya tersebut ditentang keluarga karena katanya kasihan masih bayi kok disunat. Qadarullah, baby A malah terkena infeksi balanitis (klik untuk membaca detail mengenai balanitis).

Diagnosa balanitis malah baru ketahuan saat kami ke dokter bedah anak untuk konsultasi khitan. Padahal sebelumnya, dokter spesialis anak (DSA) hanya bilang fimosis dan menyatakan kalau kulup penisnya memang sulit dibuka & keadaannya kotor. Saat penambahan berat badan (BB) baby A mulai seret saat usianya 8 bulan, kami menduga baby A mungkin terkena infeksi saluran kemih (ISK). Alhamdulillah sampai sebulan sebelum khitan pun tes urinnya tidak menunjukkan adanya ISK. Jadi saya berhipotesis kalau seretnya penambahan BB baby A disebabkan oleh balanitis yang tersembunyi. Mungkin balanitis ini baru ketahuan karena dokter bedah anaknya, dr. Yessi Eldirani, Sp.BA memang detail observasinya?

Yang pasti, saya bersyukur, Alhamdulillah akhirnya anak saya dikhitan juga karena insting saya dari dulu sudah was-was perihal ini. Kalau suatu saat Allah SWT menitipkan anak lelaki lagi pada kami, insya Allah kami laksanakan khitan sebelum ia menginjak 3 bulan. Ya, dengan diam-diam tak perlu beri tahu keluarga besar. Diam lebih baik daripada dicecar Budhe-Pakde Om-Tante: kenapa masih kecil kok disunat, kenapa nggak tunggu sampai SD saja, apakah pipisnya gelembung sampai harus disunat, dan lain-lain. Generasi di atas saya masih beda mahzhab ternyata untuk hal ini. Padahal di zaman Rasulullah SAW, bayi biasanya dikhitan saat aqiqah. Berarti umumnya sekitar 7 – 21 hari pasca lahiran kan ya? Dokter anak jaman now juga sudah banyak yang menganjurkan khitan saat bayi. Dengan dukungan sunnah Rasulullah SAW dan bukti ilmiah, kenapa tidak?

Ok, balik lagi ke prosedur khitan baby A. Baby A dikhitan di RS Hermina Kemayoran dengan dr. Yessi Eldirani, Sp.BA. Sebelumnya, kami cerita ke dokter anak kami, dr. Roy Amarudin, Sp.A(K), kalau kami khawatir dengan kondisi penisnya baby A yang sulit dibersihkan dan menghendaki sirkumsisi. Beliau setuju dan merekomendasikan dr. Yessi. Saya terkesan dengan dr. Yessi. Pendekatannya ke anak bagus (ramah dan mengajak bermain), detail, penjelasannya ok, dan fast respond via WA.

Khitannya terasa serba cepat. Sabtu konsul pertama dan cek lab untuk darah, Senin besoknya baby A dikhitan. Karena toko susu-popok dekat rumah tutup hari Ahad, mamak hampir kewalahan mencari pospak tipe tape (perekat) ukuran XL (beli 1 ukuran lebih besar) untuk dipakai baby A selepas tindakan. Yup, Alhamdulillah shopee and grab-send to the rescue.

dr. Yessi bilang kalau kami tidak perlu menginap malam sebelumnya alias one day care (ODC) saja. Tapi lalu kami ditelepon suster disuruh menginap dari Ahad malam. Awalnya ditelepon itu setuju ODC, lalu setelah saya bilang belum ketemu dokter anestesi, susternya langsung minta rawat inap. Alasannya supaya tidak terburu-buru keesokan paginya.

Alhasil kami ke check-in rawat inap Ahad malam sekitar jam 22.30 WIB. Suster jaga sempat mencoba menginfus baby A tapi gagal dan berujung tangis kesakitan baby A. Sebelumnya si suster bilang kalau infus ini gagal, nanti akan dicoba lagi sama perawat IGD (yang saya asumsikan lebih jago menginfus anak). Esok paginya si suster membawa seorang suster lainnya (entah orang IGD atau bukan) dan berhasil menginfus di percobaan keduanya. Saya cuma berpikir, aduhlah anak saya bukan tikus percobaan atuh, Sus. Kalau ujung-ujungnya diinfus pagi juga, tidak perlu menginap kalau begitu. Baby A menangis histeris diinfus. Tapi lucunya karena melihat ada mainan kereta yang kalau diputar itu lidah si kereta melet-melet, sembari menangis dia malah meniru melet-melet (sambil ngomong “lidah melet-melet”). Kami dan para suster yang tegang malah tertawa lah dibuatnya. Sebelum tindakan, Baby A juga diharuskan berpuasa 6 jam sebelumnya, dengan catatan boleh minum air putih sampai 3 jam sebelumnya. Celakanya, baby A biasa breastfeed tengah malam dan jam 5 subuh. Alhasil ia menangis dalam tidur karena tidak boleh minum ASI. Air putih dalam botol dot juga ditolaknya.

Baby A dikhitan dengan metode konvensional dan dibius total. Proses tindakannya hanya memakan 30 menit. Lalu baby A kami temani di ruang pasca operasi sampai ia bangun dan stabil. Sekitar 1 – 1,5 jam setelahnya baby A pun bangun. Saat sampai kamar, ia terus menangis kesakitan. Ia minta digendong ayah atau kakeknya. Kasihan, sepertinya kemaluannya masih nyeri. Sekitar 2 jam ia menangis hampir tanpa henti sampai akhirnya tertidur pulas di gendongan ayahnya.

Baby A terbangun lagi sekitar jam 16.00 WIB dan makan dengan lahap yang tentunya diawali buah anggur kesukaannya. Alhamdulillah ia sudah lumayan ceria. Jam 20.00 WIB kami baru diperbolehkan pulang setelah menunggu konfirmasi dari pihak asuransi. Biaya total saat itu sekitar 12 juta, yang Alhamdulillah semua ditanggung asuransi. Biaya tersebut sudah termasuk biaya kamar kelas 1 yang terhitung 2 malam.

Setelah 36 jam pasca sunat, si kecil sudah bisa lari-larian dan aktif sekali, tidak terlihat seperti habis disunat 😂. Baby A mandi dengan di washlap selama 3 hari. Setelah 6 hari, kami kontrol lavi ke dr. Yessi dan beliau konfirmasi kondisi baby A sudah oke, tidak perlu oles salep lagi. Hanya saja karena lem lebih banyak digunakan dibanding benang jahitan, lemnya sulit terkelupas. Kalau tidak salah baru lepas H+10 pasca khitan. Alhamdulillah, lega rasanya ternyata khitan anak 17 bulan ini hanya rewel saat hari H saja. Padahal kalau kata suami, dulu saat dia dikhitan kelas 5 SD, nyerinya 3 harian hampir tidak bisa ngapa-ngapain. Jadi mungkin ingatan sakitnya itu yang membuat para lelaki kasihan kalau anak-anak dikhitan saat bayi. Padahal ternyata pemulihan saat bayi lebih cepat dan kalau sudah besar dia tidak akan ingat sakitnya kok. Kalau dikhitan saat besar, sakitnya mungkin tidak seperti dulu karena teknologi persunatan sudah maju. Namun biasanya yang jadi tantangan adalah merayu si anak. Jadi ingat dulu keponakan minta playstation sebagai hadiah kalau mau disunat. Lumayan ya, harga rayuan pulau kelapanya…

Semoga sharing pengalaman khitan anak ini bermanfaat, karena lumayan sulit juga mencari cerita pengalaman seperti ini di blog orang lain. Hehe.

Writober Challenge: the Recap

Wah sudah akhir November rupanya. Padahal sudah berazzam minimal satu post dalam sebulan, dan November hampir terlewat. Jadi saya mau post tentang bulan Oktober saja dulu, hehe.

Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Sehasta progress lagi dalam mengembangkan hobi menulis telah saya raih. Kali ini justru melalui sebuah faktor eksternal, yakni sebuah tantangan.

Tantangan itu datang dari Rumah Belajar Menulis (RBM) Institut Ibu Profesional Jakara. Tantangan di bulan Oktober 2019 itu bertajuk Writober Challenge. RBM menantang para anggotanya untuk menulis 10 tulisan di blog pada bulan Oktober. Dari periode tantangan 1 – 21 Oktober, satu hari hanya boleh mempublikasikan 1 tulisan. Tema kesepuluh tulisan juga sudah ditentukan. Tentu saya tertantang mengikutinya demi meramaikan laman blog yang mulai berdebu ini.

Ternyata saya mampu. Hmm, mungkin harus ada tantangan dari luar ya supaya terus termotivasi menulis? Saya kurang produktif di bulan ini mungkin karena bulan ini saya kurang membaca? Tentu saja, karena membaca adalah hulu dari menulis.

Di luar dugaan, saat saya banyak menulis di bulan Oktober lalu itu, saya merasa emosi saya lebih stabil. Dimarahi ibu, saya kalem. Anak rewel, saya kalem. Katanya, menulis memang bisa menyehatkan psikis. Mudah-mudahan. Saya pun senang bisa bereksplorasi dalam menulis bentuk yang beragam seperti cerpen, resensi, dan kontemplasi.

Yang lebih mengejutkan, saya malah dianugerahi penghargaan sebagai pemenang Writober Challenge kategori anggota baru RBM. Alhamdulillah. Saya sangat berterima kasih pada juri dan teman-teman RBM IP Jakarta. Kami saling menyemangati, saling belajar. Senang rasanya berada di satu komunitas sehobi. Mungkin suatu saat nanti saya mengembangkan sayap jadi mom blogger resmi saja? Hehe.

Anyway, berikut recap tulisan saya yang mencakup 10 tema Writober Challenge 2019 tersebut.

Tema 1: Mulai

Mulai dari Sebuah Titik (0,0)

Tema 2: Jajan

Jajanan Baru Mila

Tema 3: Mata

Mata di Tanah Melus

Tema 4: Renjana

Renjana vs Kepuasan Batin

Tema 5: Takut

Pertolongan Pertama pada Sakit Hati, Memang Ada?

Tema 6: Kenapa

Waktu Ku Kecil, Hidupku Penuh Tanya

Tema 7: Bulan

Bulan

Tema 8: Jingga

Tertaut pada Jingga

Tema 9: Lupa

Melawan Lupa (Bahwa Dulunya Anak-Anak)

Tema 10: Garis

Dunia Bentuk, Garis, dan Warna

1

Dunia Garis, Bentuk, dan Warna

Dulu saat masih kanak-kanak, dunia garis, bentuk, dan warna begitu dekat dengan saya. Garis, bentuk, dan warna itu saling bekerja sama, beriringan, berharmoni menjadi satu menjadi gambar dua dimensi atau bentuk tiga dimensi. Dunia saya jadi indah karenanya, bahkan saya bisa membentuk dunia milik saya sendiri berkatnya. Corat-coret sana-sini, warna-warni sana-sini.

Saya tidak bilang saya berbakat dalam gambar-menggambar. Prestasi lomba menggambar dari zaman dulu juga nihil. Apalagi saya menemukan dari tes sederhana tentang 8 bakat multiple intelligences, bakat visual spasial saya menempati rangking ke-4 dari 5. Kenapa tidak dari 8? Oh, itu karena ada 2 bakat sekaligus yang menempati masing-masing rangking 1 dan 2. Meski begitu, siapa di dunia ini yang tidak menikmati keindahan visual? Semua orang suka orang ganteng dan cantik kan? Mahakarya ciptaan Allah SWT itu (efek habis lihat orang ganteng di drama Korea).

Di sekolah TK maupun SD, seingat saya tidak terlalu banyak kegiatan berseni rupa itu. Seringnya di sekolah, berseni itu dinomor buncitkan, kalah telak bersaing dengan matematika dan ipa. Jadi saya tidak terlalu pusing dengan pelajaran seni. Tapi lucunya, entah di kelas 3 atau 4 SD dulu, saya pernah kecewa dapat nilai 65 untuk PR menggambar. Bagi saya 65 itu berarti jelek, minimal dapat 75 deh baru saya tenang.

Saya tanya gurunya, “Pak, kenapa saya dapat 65? Kayaknya gambar saya nggak jelek-jelek banget.”

“Ya nggak jelek memang, tapi kamu bukan menggambar pemandangan seperti yang Bapak minta.”

Lho iya Pak, Bapak kan bilang gambar pemandangan. Buat saya, pantai itu juga pemandangan, Pak.”

“Ya tapi, maksud Bapak, gambar pemandangan itu ya gambar gunung, bukan pantai. Teman-temanmu juga pada gambar gunung.”

Amboi! Sungguh hebat doktrin gambar pemandangan itu harus gambar gunung! Apalagi kalau bukan gambar dua gunung bersebelahan dengan matahari menyelinap di tengahnya, yang entah bermaksud terbit atau terbenam. Aku tertawa dalam hati, betapa kreativitas telah mati. Apalah daya, segan melawan guru, kutelan saja pahitnya nilai itu.

Jadi sekarang, saya hanya melabel diri sebagai penikmat seni saja, bukan pencipta seni. Penikmat yang sering iri tipis-tipis dengan pencipta seni. Saya tahu, seni itu memang bidang paling abu-abu. Tidak ada benar dan salah, tidak ada bagus atau jelek. Yang bagus bagi orang lain, belum tentu bagus di mata kita. Seperti halnya bagi saya, suami saya ganteng, mungkin di mata orang lain tidak (haha ini tulisan bumbu micin saja).

Tapi, satu hal yang saya perhatikan. Semua anak, yang berbakat maupun yang tidak, pasti suka dengan seni rupa. Mungkin karena otak kanan anak perempuan dan anak laki-laki sedang berkembang dengan gencar. Atau karena gambar adalah media komunikasi yang mereka sukai, apalagi bagi yang belum bisa menulis.

Baru kemarin saya menemukan ada buku esai yang membahas gambar anak. Tema yang jarang dibahas ini ada dalam buku Gambar Anak dan Kisah-kisahnya. Memang ada apa dengan gambar anak? Saya juga belum tahu detailnya. Semoga nanti ada kesempatan baca dan meresensi buku tersebut, ya. Bukunya sudah masuk daftar tunggu baca saya. Yang saya tahu pasti, saya ingin mendampingi anak berproses dengan baik dalam bersinggungan dengan hal seni ini. Bismillah, jangan sampai mendemotivasi seperti guru yang saya ceritakan tadi. Walau ada saatnya beliau juga memotivasi saya juga kok. Maklum guru konvensional, belum tahu kalau kalau demotivasi semacam itu kurang tepat.

Buku Esai: Gambar Anak dan Kisah-kisahnya

#Writober #RBMIpJakarta # #WritoberChallenge #Writober10 #WritoberGaris #Garis #Kontemplasi